Disela
perbincangan menjelang maghrib di sebuah gubuk yang hanya di huni oleh sepasang
suami istri yang sudah lebih dari 40 th hidup bersama menjalani suka – duka
kehidupan dan seorang gadis bungsu yang berusia 22th.
Ibu
sibuk menyiapkan makanan untuk makan malam, sementara si bungsu masih
bermanjaan dengan sang malaikatnya (ayah).
“pak,
udah liat nilai semesterku belum ?”
“bapakmu
kurang tau sama nilai – nilai yang kaya gitu, beda sama nilai raportmu dulu
waktu sebelum kuliah” sahut ibuku
Iya,
bapak ku memang tidak begitu paham tentang masalah nilai – nilai semesterku
karena bapak orang yang lahir pada era 1954an, bapak paling menthok tamat SD.
Makanya beliau tak ingin anak – anaknya merasakan kehidupan yang sama, beliau
selalu berusaha dengan sekuat tenaganya untuk membahagiakan keluarganya.
Aku
anak ke lima dari lima bersaudara, harusnya aku mempunyai dua orang kakak laki
– laki dan dua orang kakak perempuan. Seperti kata bapak, anak laki – laki (
kakak pertamaku ) bapak dan ibu meninggal saat baru lahir, entahlah apa
penyebabnya aku kurang mengerti yang pasti saat bapak bercerita tentang
kejadian empat puluh tahun itu, ada perasaan sedih yang masih menyelimutinya,
ada penyesalan yang ingin beliau ungkapkan tapi tak mengerti apa yang hendak
disesalkan, semua terjadi telah begitu lama.
Sambil
bercerita, ku peluk sosok lelaki yang begitu gagah yang kasih sayangnya tak
pernah berkurang sedikitpun.
“seandainya
dulu mas mu hidup nduk, mungkin sekarang udah tumbuh menjadi sosok yang gagah,
tampan”. Kulihat dalam – dalam matanya yang seakan – akan berusaha ingin
mengingat sosok bayi mungil yang sempat beliau lihat hanya hitungan jam. Kali
ini pelukanku semakin erat, seakan – akan aku berusaha menguatkannya. Tanpa di
sadari, tubuhnya yang dulu selalu menggendongku kini semakin kurus, urat – urat
tangannya begitu jelas ku rasakan saat ku peluk genggaman tangannya.
“bapak
bungsu yah ?” kembali ku lontarkan pertanyaan, dan beliau tetap saja menjadi
sosok ayah yang tak pernah bosan menjawab setiap pertanyaanku.
“iya,
bapak bungsu empat bersaudara. Kakak lelaki bapak dulu meninggal pas jaman DI,
jadi korban salah tembak” kembali memori bapak teringat akan masa itu, mungkin
luka beliau kembali terbuka, sosok kakak yang dibanggakan meninggal di tangan
orang – orang yang tak berperikemanusiaan.
Tegar.
Begitulah sosok bapak sejak dulu yang selalu berusaha terlihat kuat di depan para
orang yang dicintainya. Sore itu, mungkin aku menjadi manusia yang paling
bahagia, karena berada di antara dua malaikatku, dua orang yang terpenting
dalam hidupku, dua orang yang selalu mensupportku.
“bu,
tadi aku ketemu sama ibunya dia” tapi aku diem aja, aku takut salah ngomong”.
Ibu mengerti gimana perasaanku saat itu, bahkan ibu hanya menanggapinya dengan
senyuman yang artinya ibu menyetujui sikapku.
“udah
yang kaya gitu sabar yah nduk, sekolah aja dulu dikelarin eman – eman bentar lagi lulus, insya Allah kalau emang jodoh pasti
bakal balik lagi” kali ini bapak berbicara sambil mengusap kepalaku. Aku pun
membalasnya dengan senyum.
“nggih pak, minta do’anya biar cepet
kelar cepet wisuda dimudahkan segala urusannya. Udah putek pak masuk semester
6, udah cape sama rutinitasnya (kerja – kuliah) tiap hari”
Satu
pertanyaan yang tiba – tiba muncul di benakku, “dulu ibu sama bapak dijodohin
apa kenal sendiri?”
“dijodohin
sama embah putrimu” sahut ibu, “dulu ibu kan gak kenal bapak, eeh terus
dikenalin sama embah putri terus di nikahin”.
“ko
ibu mau sih dijodohin sama bapak? Emang bapak anaknya orang kaya? hehehe”
celotehku
“yaa
namanya orang dulu ibu nurut aja di jodohin, dulu bapakmu itu pemain bola desa
nduk, bapak juga bukan dari keluarga kaya. Mungkin karena sregep (rajin) yang bikin embahmu ngejodohin sama ibu”. Iya bapak
memang sosok lelaki idaman, kerja kerasnya tak pernah lelah, semangatnya tak
pernah surut.
“seriusan
pak, dulu bapak pemain bola ? main diposisi apa pak ?” tanyaku antusias.
“dulu
bapak jadi gelandang tengah” sahutnya dengan penuh rasa bangga. Dari situ aku
bisa memahami dengan sendirinya, mungkin kecintaanku terhadap olahraga terutama
sepak bola telah ku warisi dari sosok lelaki ter-HEBAT ku.
Adzan
maghrib berkumandang, bapak ibu dan aku bergegas untuk menghadap ke Sang
Pencipta. Sore itu menjadi sore yang indah di sebuah gubuk kecil di kota
bahari.
Si bungsu yang selalu
merindukan pelukan dua malaikatnya
Jum’at, 27 Maret 2015 Pukul
08.16 wib