Entri Populer

Jumat, 27 Maret 2015

Dua "malaikatku"

Disela perbincangan menjelang maghrib di sebuah gubuk yang hanya di huni oleh sepasang suami istri yang sudah lebih dari 40 th hidup bersama menjalani suka – duka kehidupan dan seorang gadis bungsu yang berusia 22th.
Ibu sibuk menyiapkan makanan untuk makan malam, sementara si bungsu masih bermanjaan dengan sang malaikatnya (ayah).
“pak, udah liat nilai semesterku belum ?”
“bapakmu kurang tau sama nilai – nilai yang kaya gitu, beda sama nilai raportmu dulu waktu sebelum kuliah” sahut ibuku
Iya, bapak ku memang tidak begitu paham tentang masalah nilai – nilai semesterku karena bapak orang yang lahir pada era 1954an, bapak paling menthok tamat SD. Makanya beliau tak ingin anak – anaknya merasakan kehidupan yang sama, beliau selalu berusaha dengan sekuat tenaganya untuk membahagiakan keluarganya.
Aku anak ke lima dari lima bersaudara, harusnya aku mempunyai dua orang kakak laki – laki dan dua orang kakak perempuan. Seperti kata bapak, anak laki – laki ( kakak pertamaku ) bapak dan ibu meninggal saat baru lahir, entahlah apa penyebabnya aku kurang mengerti yang pasti saat bapak bercerita tentang kejadian empat puluh tahun itu, ada perasaan sedih yang masih menyelimutinya, ada penyesalan yang ingin beliau ungkapkan tapi tak mengerti apa yang hendak disesalkan, semua terjadi telah begitu lama.
Sambil bercerita, ku peluk sosok lelaki yang begitu gagah yang kasih sayangnya tak pernah berkurang sedikitpun.
“seandainya dulu mas mu hidup nduk, mungkin sekarang udah tumbuh menjadi sosok yang gagah, tampan”. Kulihat dalam – dalam matanya yang seakan – akan berusaha ingin mengingat sosok bayi mungil yang sempat beliau lihat hanya hitungan jam. Kali ini pelukanku semakin erat, seakan – akan aku berusaha menguatkannya. Tanpa di sadari, tubuhnya yang dulu selalu menggendongku kini semakin kurus, urat – urat tangannya begitu jelas ku rasakan saat ku peluk genggaman tangannya.
“bapak bungsu yah ?” kembali ku lontarkan pertanyaan, dan beliau tetap saja menjadi sosok ayah yang tak pernah bosan menjawab setiap pertanyaanku.
“iya, bapak bungsu empat bersaudara. Kakak lelaki bapak dulu meninggal pas jaman DI, jadi korban salah tembak” kembali memori bapak teringat akan masa itu, mungkin luka beliau kembali terbuka, sosok kakak yang dibanggakan meninggal di tangan orang – orang yang tak berperikemanusiaan.
Tegar. Begitulah sosok bapak sejak dulu yang selalu berusaha terlihat kuat di depan para orang yang dicintainya. Sore itu, mungkin aku menjadi manusia yang paling bahagia, karena berada di antara dua malaikatku, dua orang yang terpenting dalam hidupku, dua orang yang selalu mensupportku.
“bu, tadi aku ketemu sama ibunya dia” tapi aku diem aja, aku takut salah ngomong”. Ibu mengerti gimana perasaanku saat itu, bahkan ibu hanya menanggapinya dengan senyuman yang artinya ibu menyetujui sikapku.
“udah yang kaya gitu sabar yah nduk, sekolah aja dulu dikelarin eman – eman bentar lagi lulus, insya Allah kalau emang jodoh pasti bakal balik lagi” kali ini bapak berbicara sambil mengusap kepalaku. Aku pun membalasnya dengan senyum.
nggih pak, minta do’anya biar cepet kelar cepet wisuda dimudahkan segala urusannya. Udah putek pak masuk semester 6, udah cape sama rutinitasnya (kerja – kuliah) tiap hari”
Satu pertanyaan yang tiba – tiba muncul di benakku, “dulu ibu sama bapak dijodohin apa kenal sendiri?”
“dijodohin sama embah putrimu” sahut ibu, “dulu ibu kan gak kenal bapak, eeh terus dikenalin sama embah putri terus di nikahin”.
“ko ibu mau sih dijodohin sama bapak? Emang bapak anaknya orang kaya? hehehe” celotehku
“yaa namanya orang dulu ibu nurut aja di jodohin, dulu bapakmu itu pemain bola desa nduk, bapak juga bukan dari keluarga kaya. Mungkin karena sregep (rajin) yang bikin embahmu ngejodohin sama ibu”. Iya bapak memang sosok lelaki idaman, kerja kerasnya tak pernah lelah, semangatnya tak pernah surut.
“seriusan pak, dulu bapak pemain bola ? main diposisi apa pak ?” tanyaku antusias.
“dulu bapak jadi gelandang tengah” sahutnya dengan penuh rasa bangga. Dari situ aku bisa memahami dengan sendirinya, mungkin kecintaanku terhadap olahraga terutama sepak bola telah ku warisi dari sosok lelaki ter-HEBAT ku.
Adzan maghrib berkumandang, bapak ibu dan aku bergegas untuk menghadap ke Sang Pencipta. Sore itu menjadi sore yang indah di sebuah gubuk kecil di kota bahari.

Si bungsu yang selalu merindukan pelukan dua malaikatnya
Jum’at, 27 Maret 2015 Pukul 08.16 wib




Rabu, 25 Maret 2015

Ayah, Ijinkan aku bahagiakanmu dengan cara yang paling sempurna

Tubuhnya yang dulu kekar kini telah menua
Jemarinya yang dulu selalu menopangku kini telah renta
Tapi semangatnya masih sama seperti saat pertama kalinya ku dengar lantunan dua kalimat syahadat yang menyempurnakan iman islamku
Tawanya masih sama seperti saat pertama kali beliau tersenyum saat melihat kehadiranku di alam fana ini
Kasih sayangnya terus bertambah setiap detik yang berlalu
Nasihatnya selalu sama, pengkhawatirannya tak pernah henti
Pelukannya masih sehangat dulu saat ku masih dalam ayunannya
Entah apa yang menguatkannya selama ini
Senyumku kah? Kebahagiaanku kah? Kemanjaanku kah?
Entahlah. . .
Yang aku rasakan dan aku sadari aku belum cukup untuk membahagiakan beliau
Aku belum cukup berbakti terhadap beliau dengan segala kemanjaan yang selalu menyerangku
Aaahhh Ayah. . .
Rasanya aku ingin terus mendekapmu lebih lama lagi
Maaf untuk setiap detik yang bergulir
Mungkin aku belum cukup berbakti untuk menjadi anak yang sholihah
Tapi anakmu selalu berusaha untuk men-sholihah-kan diri ini
Maaf untuk segala kemanjaanku hingga sebesar ini
Aku masih terus saja menjadi putri bungsu kesayanganmu dengan segala kemanjaanku
Dan hingga saat ini pun kau selalu berusaha untuk memanjakanku dengan segala hembusan nafas yang kau punya
Ayah. . .
Kau satu – satunya lelaki yang akan terus ku rapalkan namanya dalam setiap percakapanku dengan Tuhan
Kau satu – satunya lelaki yang tulus membahagiakanku dengan segala kemampuan yang kau punya
Ayah. .
Mungkin kau tak sama seperti ayah – ayah yang lain yang selalu mengumbar ungkapan “ayah sayang kamu nak”
Tapi dengan segala sikapnya aku merasakan tak ada kasih sayang yang setulus beliau
Rasanya jutaan kebaikan tak cukup untuk membayar segala ketulusannya
Tuhan, pintaku jaga malaikatku selayaknya beliau yang selalu menjagaku dengan segala do’anya
Tuhan, bahagaiakan beliau selayaknya beliau yang selalu berusaha untuk bahagiakanku
Ayah. .
Ijinkan aku bahagiakanmu dengan cara yang paling sempurna

Putri bungsumu yang ingin terus bahagiakanmu dengan cara yang paling sempurna
Rabu, 25 Maret 2015 Pukul 15.43 wib